Monday, March 14, 2011

HAK WARIS ANAK DALAM KANDUNGAN

 
A.                 Pengertian Anak dalam Kandungan
Orang yang mengandung sering disebut dengan al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata hamalat. Dan tercantum dalam Al quran surah Al-Ahqof : 15
kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula”. Menurut istilah para fuqoha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibu baik laki-laki maupun perempuan”.[1]
Pada dasarnya apabila seseorang meninggal dunia dan diantara ahli warisnya terdapat anak yang masih dalam kandungan atau istri yang sedang menjalankan masa iddah dalam keadaan mengandung atau kandungan itu dari orang lain yang meninggal, maka anak yang dalam kandungan itu tidak memperoleh warisan bil fi’li, karena hidupnya ketikam uwar is meninggal tidak dapat dipastikan. Karena salah satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan , satu atau kembar.[2]
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyar menyangkut kemaslahatan demi terpelihara hak anak, maka bagiannya dimawqufkan sampai dia lahir karena ada kemungkinan bahwa dia telah hidup ketikamuwar isnya meninggal. Atau pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan ahli waris yang mengharuskan disegerakan pembagian harta warisan dalam bentuk awal.[3] Oleh karena itu jika memungkinkan dapat menentukan isi kandungan dengan tes USG untuk mengetahui jenis kelamin dari anak tersebut maka disimpanlah bagian harta warisan untuknya. Karena anak dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan karena ketidakpastian yang ada pada dirinya, sedangkan warisan dapat diselesaikan secara hukum jika kepastian itu sudah ada.[4]

B.                 Syarat Anak dalam Kandungan Memperoleh Harta Waris
Anak yang masih berada dalam kandungan ibunya termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan sebagaimana ahli waris lainnya. Untuk merealisasikan hak kewarisan ini, diperlukan syarat-syarat berikut :
1.        Ketika muwaris meninggal, anak itu telah berwujud dalam rahim ibunya.
2.        Bayi yang ada dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup.
Penjelasan Pertma: Waris mewarisi bertujuan menggantikan kedudukan orang yang sudah meninggal dalam kepemilikan harta bendanya. Maka disyaratkan bayi tersebut telah terwujud supaya tergambar penggantian yang dimaksud. Tingkatan yang seminimal-minimalnya sebagai seorang pengganti ia harus sudah terwujud walaupun masih berada dalam kandungan ibunya. Ini karena sperma yang ada pada rahim itu, tidak akan hancur jika mempunyai zat hidup, sehingga ia dihukumi hidup.
Penjelasan Kedua: Lahir dalam keadaan hidup disyaratkan untuk meyakinkan bahwa anak dalam kandungan itu memang benar-benar hidup dalam rahim ketikamuwaris meninggal. Ketika masih dalam kandungan walaupun sudah dianggap hidup, itu bukanlah hidup yang sebenarnya. Kelahiran dalam keadaan hidup ke dunia ini dengan tenggang waktu yang telah ditentukan merupakan bukti yang nyata atas perwujudan ketika orang yang mewariskan meninggal. Selain perwujudan nyata anak dalam keadaan hidup dan tenggang waktu kelahiran diperlukan juga ciri-ciri yang meyakinkan. Diantara ciri-ciri tersebut antara lain berteriak, bernafas, bergerak dan lain sebagainya. Sebagaimana Abu Hurairah r.a mengutip sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan tanda-tanda hidup ini sebagai berikut : “Apabila anak yang dilahirkan itu berteriak, maka diberi pusaka”.[5]

C.            Keadaan Janin dan Cara Pembagian Warisannya
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:


[1] Muhammad Ali As-Shobuni, Pembagian waris menurut Islam, (: Jakarta :Gema Insani. 1995),  Hal. 164
[2] Dian Khoirul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung : Pusataka Setia. 1999), Hal. 199
[3] Ibid. hal. 166
[4] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 125
[5] Dian Khoirul Umam, op. cit., Hal. 201

karya ilmiah, artikel, surat-surat umum, undang-undang ekonomi syariah

No comments:

Post a Comment